Sori sori sori + Hiatus + Promosi

 

Permintaan maaf (yang terlambat) saya haturkan pada teman-teman yang mengikuti blog sayah (kayak ada banyak aja, beuh :P) atas ketiadaan update selama beberapa lama ini. Padahal kumik-kumik Indo mulai banyak yang bermunculan. Untuk sementara ini saya disibukkan sama proyek kumik saya sendiri. Iya bener. Saya mbikin kumik yang ditujukan buat kompilasi shonennya KOLONI. Silakan mampir ke halaman FBnya kalau bersedia.  Tapi kalo sampeyan sayang saya, pasti bersedia dunk~ >wO *kedipkedip*.

Ternyata menjadi reviewer sekaligus nggarap kumik itu serba salah, sodara-sodara. Tangan jadi geter-geter gegara baru mbikin satu halaman, tapi otak ini bawaannya mencari cacat cela terus. Hahaha. Makanya waktu buat mbikin kumik utuh cuma bisa dipake buat mbikin kumik kompilasi. Oleh sebab itu, saya mengambil hiatus untuk beberapa lama, setidaknya sampai kumik saya selamat sampai di percetakan.

Semoga kumik saya yang hendak lahir ini bisa memuaskan pembaca sekalian serta tidak menjadikan saya ‘sok tau’ di repiu-repiu berikutnya, mentang-mentang udah bikin kumik. Hahahaha. Ojo lali, di-like yoooo…Eniwei, kalo suatu saat ada yang mau bikin repiunya, kasi aja saya linknya. Tar saya pajang di sini juga :3

 

Love.

OSA

Posted in Uncategorized | 1 Comment

Jalan Komik

 

Seorang pemuda berusia 17 tahun bercita-cita menjadi seorang komikus. Namun karena kemampuannya yang terbatas, ia seringkali gagal.
Sementara itu, waktu tak sudi menunggunya. Penyakit yang dideritanya tak lama lagi akan segera merenggut nyawanya.
Di lain pihak, ada seorang teman sekelasnya yang berandal, tapi juga memiliki bakat menggambar yang luar biasa.
Takdir mempertemukan mereka dan mengukir kisah keduanya di Jalan Komik.

Penulis : Bayu Harditama
Penggambar : Fajareka Setiawan
Penerbit : KOLONI

Peringatan : (kayaknya saya kudu mulai niru mas Peter Prabowo dengan ngasih peringatan di tiap review. Lama kelamaan saya makin… objektip. Heuheuheu. Semoga ngga kelihatan-kelihatan amat yak…?) Review ini penuh dengan pujian setinggi surga dan hinaan sedalam neraka. Penulis review ini AGAK feminis. And hate lovey-dovey-too-sweet-typical-scenes. Dan sedang mengidamkan sesuatu yang lebih lokal. Tapi pada intinya, jadikanlah review ini sebagai cambukan cinta~.

Peringatan tambahan : ada EDITAN di bagian bawah. Jangan lempari saya sebelum baca komiknya sampai habis.

Saya berharap banyak sama komik ini. Pertama, karena saya sudah pernah lihat naskah gambarnya yang seukuran A3 di Lesehan Studio, tempat di mana Fajar dan Bayu (yang komikus) berkarya. Dua, setahu saya, Fajar adalah asisten Matt0 ketika membuat 1SR6, sedang Bayu terlibat dalam pembuatan cerita 1SR6. Jadi keduanya jelas bukan orang baru dalam dunia perkomikan. Ketiga, kualitas gambar yang menjanjikan dan background yang bisa mbikin saya misuh di teaser FB Koloni. Keempat, judul ‘Jalan Komik’ menarik, terutama untuk saya yang ingin menggeluti pprofesi sebagai komikus. Jadi pada intinya, kembali saya ulang, saya BERHARAP BANYAK pada komik satu ini.

First Impression
Personally, I like the color theme. Sampulnya sesuai selera saya yang tidak terlalu suka warna-warna cerah. Tapi kalau boleh usul, objeknya lebih dipertegas lagi. Saya paham maksud sampul ini, yakni ingin menunjukkan 3 anak yang berlari di antara terpaan kertas-kertas komik. Tapi cover ini masih bisa dipertegas lagi. Mungkin dengan cara memperbesar objek manusianya, atau menghilangkan garis hitam di bagian bawah dan menempatkan nama pengarang ke dalam bagian kosong pada gambar. Saya kurang sreg sama warna hitam yang kelewat besar pada bagian judul.
Secara keseluruhan, covernya cukup apik dan kalau nggak mbaca nama pengarangnya, orang ngga bakal tahu deh ini komik dari negara mana.
Intinya : Rada kurang manteb, tapi oke deh. Toh orang awam ga bakal mikir sampulnya seimbang kiri kanan atau sesuai dengan teori-teori warna atau nggak.

Art
Sompret. Kepret. Bah. Tingkat keapikan backgroundnya tinggi, saya sampai ngga menemukan kata-kata pujian yang tepat, makanya misuh aja. Maksud saya baik kok, oke? Detil backgroundnya oke. Saya bisa merasakan kedalamannya. Dan minimal, saya bisa tahu mereka berada di mana dan dalam situasi apa tanpa saya harus berpikir panjang. Dan saya sebagai penghuni kota Yogyakarta merasa harus bersujud pada adegan di mana si tokoh utama muncul untuk pertama kalinya. Jembatan layangnya asoy, bung. Karna ada gambar tokeknya, jadi kemungkinan ini Jembatan layang Janti, yah? 😀 *sokteu*
Di komik ini, saya banyak menemukan pengaturan angle/sudut pandang baru, misalnya fish eye/gambar gembung. Fajar bisa mengatur sudut pandang yang termasuk jarang dipakai ini sehingga bisa menambah kedinamisan alur cerita.
Saya sreg sama toningnya. Pas. Eh, ada yang rada mengganjal pas adegan mereka nyelametin karakter ceweknya. Tonenya agak gede. Tapi ga masalah deh, secara keseluruhan tetep enak dilihat.
Pengekspresian karakternya oke. Adegan-adegan slaptick/banyolan fisiknya lumayan menghibur walau hati saya tetap merasa ada bagian-bagian yang mengganjal. Masalahnya, saya mempersiapkan hati untuk membaca komik INDO, bukan komik JEPANG. Dan adegan-adegan slaptick itu banyak ditemui di komik/dorama Jepang dan notabene… agak sulit bagi saya untuk membayangkan orang Indonesia beradegan demikian (oke, saya pernah mengalami masa-masa ‘sok-Jepang-banget-gitu-loh’ di mana saya suka beradegan slaptick sendiri… tapi itu kan udah bertahun-tahun lalu ;A;…dan kalau diingetin lagi bahwa saya pernah kaya gitu… rasanya rada malu =///_///= ). Penggunaan adegan slaptick memang menyenangkan karena dia bisa mengekspresikan perasaan si tokoh dengan bebas. Tapi kalau nggak hati-hati, dia bisa menghancurkan sebuah moment serius yang sudah dibangun dengan sedemikian rupa. Point ini saya tujukan untuk scene ketika tokoh Bayu selesai menyelamatkan tokoh Fajar. Saya seharusnya terhanyut pada keseriusan tokoh Bayu demi menyelamatkan tokoh Fajar, sampai-sampai Bayu kehilangan ‘kewarasan’. Tapi langsung rontok begitu tokoh Bayu berslaptick ria. Seakan-akan saya mau teriak “eh, lu serius ga sih!?”.
Eh eh eh… satu lagi 😀 adegan ciumnya… pake acara monyong-monyongan. Ahahahaha. Well… sorry, but it’s supposed to be a serious scene, no? Dan saya kira, ngga perlu pakai adegan monyong aja bisa kaaaa…n?

Eh, eniwei. Gambarnya Fajar mirip sama gambarnya Matt0. Apa karna efek tinggal bersama dalam satu atap dalam waktu yang lama? (Baca: satu studio). 😛

Story
Awalnya, saya berpikir… “It’s so BAKUMAN.” (buat yang belum pernah baca Bakuman, silakan klik linknya dan baca sinopsisnya). Karakternya ada dua, yang berambut ‘terang’ dan berkacamata sebagai tukang tulis dan berambut gelap sebagai tukang gambar. Awalnya sama, yang tukang gambar menolak untuk bekerja sama sedang yang tukang cerita mendesak-desak terus dengan berbagai cara. Tapi dugaan saya SALAH. Ini bukan Bakuman. Pembaca disodori oleh perjuangan kedua orang ini dalam menciptakan sebuah komik dengan menitik beratkan pada konflik pribadi antar karakter—bukan konflik tentang proses penciptaan komik itu. Sedikit sayang, tapi di sisi lain, it’s okay karena pada akhirnya komik ini jadi lebih original.

Inti ceritanya bagus. Ada “introduction – problem – climax – anti climax – ending” yang cukup jelas. Ada batas waktu bagi si karakter untuk menyelesaikan ‘misi’nya, membuat ketegangan dalam komik ini jadi berlipat. Ada ‘musuh’ yang harus ditaklukkan dan ‘trophy’ yang didapatkan. It’s a sweet story with a good conflict.

Yea, a good conflict seandainya kita cuma melihat dari loglinesnya aja. Mari kita bongkar aspek-aspek berikutnya.

Joke-jokenya lucu dan bisa membuat saya tersenyum. Beberapa joke slapticknya terkesan salah tempat seperti yang sudah saya bilang sebelumnya. Tapi kalau dipikir lagi, mayoritas joke slaptick ini bisa jadi untuk menonjolkan sikap Bayu yang ingin terlihat tegar. Okelah. Nice try. Saya tahu kau ingin orang hanya melihat wajah tertawamu dan bukan wajah menderitamu, begitu bukan, saudara Bayu? (Oke, saya mulai rancu antara Bayu-karakter/tokoh dengan Bayu-penulis)

Saya pada awalnya masih menikmati ceritanya hingga… ada SHURIKEN yang merusak kenikmatan baca saya. Kemunculannya yang sekilas ini membuat saya berhenti membaca sepersekian detik hanya untuk mengucap ‘wadepak’ dan berpikir : Seperti apa sekolahnya? Seberandal itukah sampai ngga memperhatikan kalau muridnya melanggar aturan sedemikian rupa? Mengapa harus shuriken? Dari mana dia bisa dapat shuriken? Ngga pakai pisau lipet aja? Bajunya ngga sobek kalau shurikennya disimpen di kantong?
Dan sepersekian detik berikutnya saya pakai untuk berpikir positif : Oh, mungkin shurikennya hand made atau special order. Dan karena ukurannya kecil, bisa disimpen-simpen di kantong makanya jarang kena razia. Toh kalau kena razia, si Fajar juga tampaknya rela-rela aja dikeluarin dari sekolah. Udah kepalang basah dicap berandal soalnya. Trus baju seragamnya terbuat dari bahan spesial. Atau shuriken itu udah disembunyikan di tepi jalan karena Fajar udah bisa nerawang kalau dia bakal diserang dan—cukup. Oke. Lanjuuut…

Saya berhenti membaca hanya karena memikirkan hal sepele. Terlepas dari penggunaan logika dan akal sehat, faktanya adalah : saya berhenti membaca sejenak hanya untuk memikirkan hal yang sepele. Ingat itu.
Di Comic Bomber sempat dibilang kalau “komikus adalah PENIPU”. Penipu yang harus bisa menipu orang-orang yang membaca ceritanya sehingga mereka terlena.. Semakin profesional komikusnya, semakin pembaca tidak merasa kalau mereka tengah diseret ke dalam dunia rekaan si komikus. Ketika si pembaca mulai berpikir ulang tentang ‘tipuan’ itu, dunia rekaan itu mulai retak. Dan ketika pembaca sudah membuang karya bersangkutan sambil berkata “nonsens”/”ngga mungkin banget sih”, itu artinya tipuannya telah gagal. Dunia yang dibuat si komikus hancur.
Jadi bagi saya, dunia ciptaan Bayu dan fajar ini sedikit retak karena saya mulai berpikir asal usul si shuriken.

Topik berikutnya adalah mengenai LEUKEMIA yang diderita Bayu.

===============

Gejala-gejala umum leukemia :
– Demam atau berkeringat pada waktu malam
– Infeksi dalam frekuensi sering
– Perasaan lemah atau lelah
– Sakit kepala
– Perdarahan dan mudah memar (gusi berdarah, lebam atau titik-titik merah di bawah kulit)
– Pembengkakan atau rasa tidak enak pada perut akibat pembesaran limpa
– Nyeri pada tulang sendi
– Pembengkakan nodus-nodus getah bening, terutama pada leher atau ketiak
– Kehilangan berat badan

Pada leukemia tingkat awal, sel-sel leukemia berfungsi hampir normal sehingga tidak ada gejala yang berarti. Ketika gelaja-gejala mulai nampak, biasanya akan memburuk secara berangsur-angsur.

Gejala-gejala umum leukemia akut :
– muntah
– bingung
– serangan epilepsi
– kehilangan kontrol otot
– pembengkakan testikel
– luka-luka pada mata atau kulit
– mimisan
– dan mempengaruhi bagian-bagian lain seperti paru-paru, saluran pencernaan dan ginjal

Leukemia akut bisa mengakibatkan seseorang meninggal dalam waktu hitungan bulan. Tapi penderita leukemia awal bisa bertahan hingga lebih dari satu tahun. Tapi tidak jarang, ada juga yang bisa bertahan dan sembuh dengan pengobatan yang tepat.

Data tambahan dari obrolan dengan ibu saya yang berprofesi sebagai perawat lebih dari 20 tahun :
Secara fisik, penderita leukemia tampak seperti orang sehat. Kelewat sehat sampai mereka merasa ada gejala-gejala seperti yang saya sebutkan di atas. Tidak jarang ada yang mendapati dirinya terkena leukemia akut pada check up pertama. Penderita leukemia bisa mengalami batuk darah, tapi tanda-tanda ini tidak umum. Tanda-tanda lain yang biasa diderita adalah mimisan, badan lebam-lebam (pendarahan dalam) atau muncul binntik-bintik merah di bawah kulit. Penderita leukemia disarankan untuk terapi secara reguler (saya lupa nanya bentuk terapinya kaya apa aja, tapi waktu mbaca data di google saya langsung menyerah). Sewaktu kambuh, penderita benar-benar kelihatan sakit. Tapi begitu diterapi (tambah darah or anything), mereka sehat kembali layaknya orang biasa.

Oh ya, apa saya lupa bilang kalau data-data di atas ngga perlu di baca kecuali Sampeyan sekalian pengen tahu lebih soal leukemia?

=====================

Capek? Sama. Data ini sudah saya edit supaya tampak lebih sederhana, tapi saya sudah mencapai ambang batas. Tugas memahami referensi bukan tugas pembaca. Itu TUGAS KOMIKUS untuk mencari data-data untuk meyakinkan pembaca dan membuat mereka mengerti tanpa membuat si pembaca itu ngantuk dan bobok.

Karakter Bayu cukup beruntung karena dia bisa hidup cukup lama, lebih dari 2 tahun setidaknya setelah dia divonis berpenyakit leukemia (karena bayu cerita pada Fajar kalau penyakitnya bahkan sudah jauh lebih lama sebelum Fajar bikin komik. Hitungan terminimal adalah : Fajar bikin komik waktu kelas 3 SMP, dan saat itu mereka kelas 2 SMA) dan batuk berdarah-darah minimal 2 kali sepanjang buku. Ditambah lagi, penderita leukemia kita ini mampu menghajar …minimal 7 orang berandal sambil angkat-angkat kapak. Hmm… maybe it’s what we have to call : MIRAKURU~

Totally MIRAKURU. Mirakuru romansu~ /nyanyi /ignoreme

Maaf. Pada awalnya, saya ngga terlalu peduli Bayu sakit apa. Yang penting, dia batuk darah dan mau mati. Dan semua orang yang batuk darah di komik/sinetron 90% biasanya bakal mati. Kebimbangan mulai datang ketika ada beberapa orang teman yang menyebutkan, “Leukemia kok batuk darah, to? Batuk darah rak TBC?”. Hal itu yang mendorong saya untuk googling mengenai leukemia dan mendapat data seperti yang sudah saya paparkan di atas.

Dari data yang saya dapat, memang memungkinkan bahwa penderita leukemia mengalami batuk darah. Tapi batuk darah pada penderita leukemia termasuk insidentil / bisa terjadi namun jarang. (Mungkin kalau mau dijelaskan secara logika, kejadiannya BISA seperti ini: penderita leukemia ada kecenderungan untuk mengalami pendarahan kulit. Jika kebetulan si penderita mengalami batuk parah, batuk itu akan menimbulkan iritasi kulit tenggorok dan mengakibatkan luka pada tenggorokan serta menimbulkan batuk darah. Tapi darahnya nggak lebay, sumpah.) SAYANGNYA, batuk darah identik dengan TBC, di mana darah keluar dari paru-paru yang terinfeksi.

Melihat dari data di atas, mungkin kurang bijak jika Bayu-penulis memilih ‘batuk darah’ sebagai cara untuk menunjukkan bahwa Bayu-karakter menderita leukemia. Kalau saya boleh memberi saran, ada baiknya jika dalam cerita diselipkan beberapa scene ketika Bayu-karakter secara berkala tidak masuk sekolah dan mengikuti tes darah/transfusi darah/perawatan leukemia secara diam-diam. Terlihat lebih ‘leukemia-ish’, no?

Berikutnya adalah… scene di mana Bayu bisa menghajar 7 orang berandal dengan tongkat, mengambil kapak yang kebetulan ada di dekatnya dan mengayun-ayunkannya ke arah si kepala berandal.
. . . sebenarnya saya agak nggak terima kalau fisik yang sangat terbatas sampai batuk darah beberapa kali itu masih mampu untuk menghajar orang-orang sehat-kuat-ceria sebanyak 7 orang. Tapi… yah… The Power of Dream sekali lagi membuat segala yang tak mungkin. Ini komik cowok, guys! Mirakuru romansu bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Kalau kau pikir bisa, kau pasti bisa. Dan mirakuru ini berlangsung hingga beberapa bulan berikutnya, walau besar harapan saya melihat si Bayu ambruk dan sekarat gara-gara penyakitnya kambuh setelah menghajar orang-orang itu. Bayu berhasil bertahan, pembaca! Mirakuru roman—okay, this joke’s getting lame. Ini keajaiban alam. Aku mempercayainya. Ini keajaiban alam.

Oh wait.

Bayu AMBRUK! Dan batuk darah lagi! Tapi karena scenenya digambarkan berupa joke, jadi walau sudah berdarah-darah dan lingkaran malaikat sudah muncul di kepala Bayu, si Fajar dan Amel tetep ngga sadar BETAPA PARAHNYA sakit si Bayu. Anak malang…

Yang mau saya bahas berikutnya adalah mengenai penokohan si Amel. Sebagai cewek, saya nggak suka dia loh~ 😀 Habis, bisanya cuma diculik, nangis, ditolong, mbeliin makanan, dicium, dan dipeluk-peluk. Aaah… di mana fungsinya~? Kalau tokoh si Amel ini diganti dengan bantal mungkin ngga akan banyak bedanya—oke, maaf. Saya terlalu ekstrim. Yang mau saya bilang sih… buat Amel sedikit lebih BERGUNA lagi, bro! Walau sasaran pembaca primer komik ini adalah kaum Adam, jangan lupa kalau ada kaum Hawa sebagai pembaca sekundernya. Penokohan semacam ini memang bisa terjadi sekali dua kali dan saya masih rada maklum –walau agak makan ati-. Tapi scene serupa juga pernah muncul di 1SR6, di mana yang saya ketahui, Bayu-penulis terlibat dalam pembuatan ceritanya. Karakter wanita, biasanya digambarkan nangis, jadi korban dan ngga berbuat apa-apa sampai akhirnya mereka jadian dengan tokoh utama. Ah. Well. Yah. Tapi sebagai tokoh cewek, si Amel manis kok. (Amel saya puji, karena ngga adil kalo dia saya hina terus. Ntar nangis.).

Dan Bayu-penulis, PLEASE! Jangan ada lagi adegan tipikal cowok jatuh di atas badan cewek gara-gara kesandung lalu mereka blushing dan saling mengucap kata cinta dan ditutup dengan monyong-monyongan! Bahkan beberapa kaum kami jarang baca romantisme yang begituan ;A;!!! Kalau ada cowok yang saya sukain jatoh di atas badan saya, apalagi kalo hampir kena dada saya, MOST likely bakal saya HAJAR, minimal saya dorong biar dia minggir. Bukannya malah ditarik tangannya dan berblushing-blushing ria.

Saran saya untuk siapapun yang mau bikin cerita soal lawan jenis (termasuk diri saya sendiri) : lihat sekelilingmu, pelajari sikap temen-temen lawan jenis kamu, tanyai pendapat mereka mengenai ceritamu—apa sudah masuk logika atau belum. Komik bukan mengenai kamu, kamu dan kamu semata. Tapi mengenai bagaimana kamu berkomunikasi tentang lingkungan sekitarmu dengan orang lain.

Akhir kata, komik ini cukup baik untuk dibeli. Seenggaknya, backgroundnya sangar dan inti ceritanya cukup mudah dipahami. Ending yang cukup tragis dengan pesan yang jelas : Jangan menyerah sampai nafas penghabisan. Teman-teman pembaca yang merasa bahwa bahasa saya di beberapa bagian cukup sadis, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. It’s a good comic, really. Makanya ketika saya merasa komik yang berpotensi tinggi ini jadi ‘bocel’ hanya gara-gara hal-hal sepele, saya agak gemes. Gemes. Mes. Mes. Nanggung gituh. Kalau mau jelek, jelek aja sekalian. Kalau mau bagus, bagusin sekalian. Hahaha… yah… saya reviewer berego tinggi. TwT

ADDITION dan EDITAN: Trims buat Alfa yang udah mengoreksi informasi yang saya dapat. Kuping saya memang kudu banyak-banyak dibersihkan. Ternyata Bayu tidak terlibat dalam penulisan 1SR6, jadi 1SR6 murni bikinan Matt0. Hal ini membuat saya semakin kagum. Efek tinggal dalam waktu lama di bawah satu atap memang luar biasa. *kabur*

 

Tjatatan Ketjil : Mas-mas berdua ini kalo mbikin komik fantasy sekalian keknya pas deh. Karakter cowonya ‘hero’nya kentel banget gitu~

Posted in Uncategorized | 15 Comments

Garudaboi

 

Lihat, tuh di langit! itu burung!? bukan! itu pesawat!? Bukan! itu…
GARUDABOI!
Yapi, itu Garudaboi, satu-satunya jagoan Indonesia dengan gaya rambut yang 4L4y ‘abis! Garudaboi boleh saja dibilang sebagai “superhero-paling-biasa-seantero-jagad” namun nggak ada yang bisa menyaingi kegokilannya daam membekuk penjahat! Ikuti saja keisengan Garudaboi menghadapi perampok bank, menghadapi alien yang baru menetas, sampai penjahat super Palananas, tentu dengan gaya lebay yang kocak!

GO GO GO GARUDABOI!

By : Galang Tirtakusuma
Published by : KOLONI

Kyyaahhhh…4kh1rny4h quw dp3t k53mpat4n jgah bwat nGrePyu kom1k inich. Quw tucH NgFAANNZZZ bgdz sm4 kom1k stu niichh…!! Mz gal4nk-kun kre3nz Bgdz SiichhHhh!! Kom1knya Gok1lz abieezzz… bk1n quw ngak4k Gg brent1y2. Xixixixixiiiiii….

Mata anda sudah rusak?

B3l0mz?

Bagus. Saya sudah soalnya.
Ngomongin Garudaboi emang ngga bisa lepas dari the ‘4l4yness’, sebuah penyakit fenomenal yang sempat menjangkiti kaum muda di negara kita tercinta ini. Para korban biasanya memiliki ciri ‘in-denial’ akut jika ditanyai “kamu 4l4y ya?”. Seperti masyarakat yang malu jika sampai mengidap penyakit AIDS karena takut disangka penganut faham seks bebas, semua takut jika dituduh mengidap penyakai 4l4y karena disangka norak. Tapi di tangan mas Galang, 4l4yness ini bisa disulap menjadi… semakin norak. Hidup Mas Galang.

FIRST IMPRESSION
Menarik. Hebat. Asoy. Keren. Saepul tampak kolorpul di bagian depan sampul. Sesuai dengan yang disajikan di cover depan yang penuh corak warna, buku ini memang bukan diperuntukkan bagi ibu-ibu yang mau belajar masak. Mungkin lebih tepat buat masyarakat yang sedang terkena cegukan. Dengan membaca buku ini, cegukan akan terlupakan dan berubah menjadi tawa. Kalo nggak ketawa ya, mungkin perlu di baca dua-tiga kali. Anyway, ini pesan pribadi dari saya. Bacaan ini searusnya dilabeli “untuk 3 tahun ke atas”. Mengapa? Karena anak di bawah umur 3 tahun biasanya belum bisa baca 🙂
Garink? Garink? Jangan salahkan saya. Salahkan Garink Tirtakusuma 😛 *minggatsegera*

ART
Antara stabil dan tidak stabil. Antara brilian dan tolol. Antara jenius dan IQ tiarap. Overall : BAGUS. Mayoritas memakai karakter chibi, sesuatu yang khas dari komik-komik komedi. Design karakternya antara serius dan nggak serius. Antara sederhana dan tidak sederhana. Pokoknya campur aduk semua ada dah. :))) Jika di komik-komik sebelumnya saya banyak protes soal background yang ngga jelas, karakter design yang ngga bisa dibedain satu sama lain, tone yang gimana-gimana, dll, untuk komik ini saya BUNGKAM. Art di komik ini PAS. ANGET. SIAP DISANTAP. Walau dalam bentuk chibi, penggambaran karakter mulai dari sifat, detil hingga ekspresi semua tergambar dengan gamblang di komik ini. Ilustratornya betul-betul bermain dengan serius di sini. Goresannya ngga stabil, tapi who cares? Gambarnya tetap jelas dan ngga mengganggu jalan cerita. Bahkan sempet-sempetnya mas Galang mengganti gaya gambarnya di buku kedua–mungkin sebagai bentuk pembuktian kalau dia sebenernya bisa nggambar dengan gaya laen (walau cuma bertahan 2 halaman) :)).

STORY
…saya bisa komentar apa? Ceritanya ngaco? Nonsens? Mustahil banget? Klimaksnya ngga kerasa? Ngga sesuai dengan latar belakangnya? Demn. WHO CARES? Ini komik…LUCU. Dan buat saya sebagai pembaca, itu cukup. Kalau ceritanya ngaco, memang ceritanya ngaco. Kalau nonsens, ya… memang nonsens. Mustahil? Jelas. Klimaksnya nggak kerasa… buat saya ndak penting. Ngga sesuai dengan latar belakangnya… bener banget! Ini yang menjadi kekurangan komik ini! Tidak sesuai dengan latar belakang! Mas Galang, akhirnya bisa kutemukan kelemahanmu! Mwahahahahahaha! Sujudlah di depanku!

ALIEN KAN CUMAN ADA DI NEGARA BARAT.


*naon*.

Becanda. Maaf. Lupakan kata-kata saya yang barusan. Saya sedang menggarink.
Cerita di Garudaboi banyak mengambil latar belakang di Indonesia. Asli. Walau rambutnya si Saepul kuning, tapi kan dia 4l4y, jadi bisa dimaklumi /nooffensebuatyangberambutkuning. Maka, sebagai orang Indonesia yang rendah hati, Mas Galang banyak menyuguhkan joke-joke yang menyindir budaya dan kebiasaan masyyarakat Indonesia. Salah satunya adalah mengenai banyaknya iklan di pertelevisian Indonesia yang terlalu banyak, juga mengenai cinta yang buta terhadap film korea “Meteor Garden”. hebatnya si Mas Galang ini, walau karakternya nambah banyak di tiap serinya, tapi ngga bikin bingung. Semua karakter bisa digambarkan dengan jelas. Kaya si Luna si cewek cantik pendamping Saepul, tapi ngga jelas banget. Saepul yang…gitu deh. Bajuri yang katrok. Bu Intan, ibu kos berjilbab yang baek hati tapi kayanya karatenya udah ban hitam. karakter-karakternya semua menyenangkan. Hell… bahkan saya ngefans sama penjahat-penjahatnya : Palananas/Kalapanas/Palakapas dan Superayam. :)) Intinya sih… ini komik tanpa banyak bicara bakal saya rekomendasikan buat kamu-kamu yang merasa hidup semakin penat. Buku ini akan mencerahkan hidupmu dan menorakkan hari-harimu. Saya adalah salah satu korbannya. Waspadalah. Waspadalah.

Tapi sate yang enak sekalipun pasti ada gosongnya, Dian Sastro sekalipun pasti pernah punya jerawat. Garudaboi ini mengusung joke-joke yang Indo banget. Saya malah jadi ragu, kalau buku ini diterbitin di Malaysia, apa masih ada yang bisa ketawa? Emang ngga semua halaman berisi joke lokal, hanya sebagian besar saja. You know, lain ladang lain belalang. Lain negara lain pula jokenya. Saya berharap, untuk ke depannya, wahai mas Galang Tirtakusuma, supaya Anda bisa mengemas joke yang lebih universal sehingga ketika buku ini diterbitkan di negara lain, orang di sana bisa ketawa dan nama anda tidak berubah jadi Garink Tirtakusuma.

Amin.

Posted in Uncategorized | 5 Comments

Princessa

 

Namaku Princessa.
Ibuku meninggal saat melahirkanku.
Karena itu, Ayahku sangat membenciku.
Beliau sama sekali tak ingin melihat wajahku.
Untung ada nenek yang sangat kusayangi.
Nenek merawatku, menggantikan Ibuku sejak aku bayi.
Apakah ada yang bisa kulakukan agar Ayah menyayangiku?

By : Anca Sulaiman
Published by : KOLONI

Berhubung di sini mati lampu dan hanya laptop sayalah yang bisa nyala, maka marilah kita mulai review hari ini. Buku yang berkesempatan nongol di postingan hari ini adalah Princessa karya Anca Sulaiman. Pertama kali saya ngliat sampulnya, saya ngga ngira kalau yang mbikin cowo XD. Sampul depan dihiasi dengan gambar anak perempuan dan bunga-bunga bertebaran, terkesan sangat manis.

Sebelum membaca komik Princessa ini, sayangnya (atau malah untungnya) saya sudah membaca review milik Peter Prabowo terlebih dulu. Maka, mari kita berharap supaya reviiewan kali ini tidak terpengaruh banget sama tulisannya Mas Peter. Ngga lucu aja gitu kalo isinya persis plek. Wkwkwkwk.

NB : hati-hati. Spoiler di sana sini.

FIRST IMPRESSION
Sampulnya…keren. Digarap secara manual dengan teknik yang emang bener-bener mangstab. Hati wanita mana yang tak terpikat melihat cover dengan warna lembut, background yang manis dan gerakan yang dinamis ini? Dari segicover, lolos deh. Sewaktu mendengar judulnya, yakni Princessa, rasanya ada yang mengganjal di hati saya. Tapi saya tepis ganjalan di hati itu dan berpikir, “Oh, mungkin ini cerita yang fairytale-like. Ada putrid-putrinya gitu. Lha cover depannya aja udah cewek” Membaca synopsis di belakangnya : “Namaku Princessa. Ibuku meninggal saat melahirkanku. Karena itu, ayahku sangat membenciku…dll”. Oke. Yang terlintas di pikiran saya adalah… ya… stereotip dongeng kanak-kanak di mana sang putrid cantik yang menderita, lalu diselamatkan oleh pangeran dan mereka hidup bahagia selama-lamanya. Dan pola stereotip yang muncul di kepala saya itu sedikit mengganggu saya ketika sedang menikmati isi ceritanya. Berbahagialah orang-orang yang tidak pernah baca dongeng atau nonton sinetron karena kalian masih bisa menganggap tipe cerita seperti ini sebagai sesuatu yang saat original.

ART
Gambarnya Anca manis. Memang cocok dengan tipe ceritanya yang cenderung sederhana dan (dalam sudut padang tertentu) bisa dicerna dengan mudah. Saya nggak tahan untuk tidak memuji sang penggambar sewaktu melihat beribu-ribu pointillism / efek titik-titik yang tersebar di beberapa halaman—semoga itu bukan tone. Garisnya rapid dan cukup enak untuk dilihat, walau di beberapa halaman ada garis-garis yang kelewat tebal/berat. Menurut pendapat saya sih, kalau garisnya distabilkan saja tanpa perlu main tebal-tipis kayaknya bisa jadi lebih bagus. Jadinya seperti Cardcaptor Sakura, mumpung gambar-gambar Anca udah mirip sama gambarnya CLAMP.

Hanya saja, ada satu bagian yang agak fatal yang mungkin sudah disinggung oleh beberapa reviewer sebelum saya : CHIBI. Chibi atau tokoh cebol akan terkesan lucu jika ditempatkan pada situasi yang tepat. Tapi jika digunakan berlebihan, rasanya malah jadi garing. Setelah membaca Princessa ini, saya malah mendapat kesan kalau si penggambar itu males membuat gambar longshot / sudut pandang jarak jauh. Terbukti dengan beberapa gambar longshot mayoritas diganti dengan chibi. Dan lagi… chibinya minim ekspresi, kesannya malah SEREM ;A;. Badannya guyank-guyank tapi mukanya datar /halahgapenting.

Ngomongin soal teknik penggambaran latar belakang, Anca kayaknya lebih jago nggambar pemandangan alam daripada bangunan XD. Gambar detil pohonnya bisa mbikin saya misuhSedang gambar bangunannya cuma sepotong-sepotong (jendelanya aja, pintunya aja, sedikit banget yang menggambarkan bangunan utuh. Bahkan ada satu gambar bangunan mewah yang hasil foto dengan kontras yang ditinggikan). Mungkin itu sebabnya saya lebih suka gambar di cerita kedua, Negeri Surga Katulistiwa, daripada Princessa. Cerita Princessa lebih menonjolkan setting bangunan daripada pemandangan alam, sayangnya sang komikus tampaknya kurang bisa menggambarkan bangunan dengan baik. Waktu si Princessa sakit, kalau si Nenek ngga bilang mereka lagi ada di rumah sakit, saya mungkin ngga akan tahu settingnya. Di cerita Negeri Surga Katulistiwa, gambar pemandangannya oke.

Anyway, satu lagi. Cerita Princessa mengambil setting di mana sih?? Ampuni saya yang mungkin tidak terlalu paham atau kurang bisa nangkap makna tersirat m(=w=)m. Beneran, saya ngga terlalu paham setting komik ini lebih tepatnya berada di mana. Rasanya seperti berada di dunia antah berantah campur Indonesia. Baju neneknya sih baju Jawa dan ada tukang es teler. Tapi identitas keIndonesiaannya cuma sekedar tempelan. Saya kurang paham tempat di mana ada padang rumput yang luas, daerah ‘lampu merah’ sekaligus perumahan mewah dengan kebun bunga berada dalam satu kompleks (Princessa ngga digambarkan lagi naik kendaraan apapun, jadi saya mengasumsikan kalau dia perlu kemana-mana tinggal jalan aja gituh). Sejujurnya, adegan padang rumput itu sempat mengingatkan saya pada komik Candy-candy. Tapi Candy-candy kan settingnya memang desa di pegunungan, jadi ya pas aja gitu. Di cerita Negeri Surga Katulistiwa, saya masih bisa paham mengenai setting-settingnya. Jaman itu memang belum banyak bangunan mewah, mungkin hanya satu-dua. Pemandangan didominasi dengan sungai kecil, pohon-pohon dan rumah bambu. Masih sangat mungkin untuk punya rumah di daerah berpadang rumput.

Itu pendapat saya sih. Boleh disanggah kok =w=;

STORY
Ada titipan pesen dari temen saya, Titan, yang bisa nyelesaiin baca komik ini dalam waktu 15 menit. Katanya, “gampang banget ditebak.” Well… kalau boleh saya menyimpulkan, merangkum dan memadatkan seluruh uneg-uneg saya setelah membaca komik Prinncessa ini, maka kesimpulan akhir saya adalah… ini komik untuk ANAK-ANAK.

OwO.

Yea.

Buat anak SD dan SMP awal deh. Pertama, karena alur ceritanya memang sederhana, tipikal dan (dari beberapa sudut pandang) mudah dicerna. Pesannya pun lugas dan jelas : cintailah orangtuamu ( coughwalaumerekajahatpadamucough ).Akhir yang ‘and they live happily ever after” dan kemunculan roh sang ibu yang menyerupai peri, yang menghidupkan Princessa lagi membawa daya tarik “wow, it’s miracle” yang biasanya disenengin anak-anak.

Tapi kalau buat remaja/dewasa, masih banyak bolongnya sih. Hm…

Sebenernya saya pengen tahu dulu, komik Princessa ini segmen pasarnya buat siapa. Kalau nantinya saya udah ngedumel panjang lebar padahal ternyata emang ditujukan buat anak-anak ya sia-sia aja saya ngomong.

Saya omongin aja deh. Ngga kuat ngampet. Hitung-hitung jadi masukan buat komikus, pembaca dan diri sendiri bahwa kalau bikin komik buat pasar apapun tetep kudu bikin yang jelas.

Oke.

Tema cerita : MENARIK. Perjuangan seorang anak untuk terus mencintai sang Ayah walau sang Ayah membenci keberadaannya. Dari sisi sang Ayah, dia juga tak bisa sepenuhnya di salahkan karena dia begitu mencintai sang istri dan masih belum bisa menerima kematiannya. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Juga tidak ada yang benar. Saya suka ini. Sangat manusiawi. Sayang, agak dirusak dengan keberadaan roh sang Ibu :D.

Why oh why saya bilang cerita ini rada ‘rusak’ alurnya?

Karena cerita yang begitu membumi tiba-tiba harus diselipi dengan sesuatu yang sangat ‘magical’ dan di luar nalar. Rasanya seperti makan sate tapi minumnya Sprite. Rada-rada ndak nyambung. Ada yang pernah mbaca komik Your White Feather dan Your Black Feather, serial cantik terbitan Jepang? Ceritanya sebelas dua belas dengan Princessa, berkisar tentang kematian dan orang yang meninggal yang masih ingin melakukan sesuatu di dunia. Ending-endingnya biasanya si arwah menyelamatkan orang yang masih hidup. Bedanya dengan Princessa adalah, dari awal kita memang sudah dikondisikan bahwa cerita-cerita di sana memang bertema “magical”, bahwa yang bakal terjadi di sana adalah sesuatu di luar nalar.

Kalau kekurangan-kekurangan lain, mungkin Cuma kecil-kecil aja. Seperti misalnya pada adegan sang Nenek ‘nari-nari ala artis Bolliwood’di bawah hujan. Apa adegan itu memang penting? Mari kita buat alur seperti ini :

* Hujan lebat
* Princessa dan Nenek kelabakan mengambil cucian sehingga terguyur hujan
* Nenek masuk angin
* Princessa mencari ayah untuk memberi tahu bahwa nenek masuk angin
* Ayah mengusir Princessa dengan kasar
* Princessa pulang dengan sedih
* Princessa ditabrak mobil dalam perjalanan pulang

See? Tanpa menambahkan adegan ‘menari-nari’ itu, alur cerita yang normal tetap bisa didapat bukan?

Trus ada kucing yang namanya ‘Pussy’. Oke, dalam membuat cerita, kita memang harus berhati-hati pada makna simbolis yang mungkin tersirat dalam sebuah nama, bentuk bangunan, tingkah laku dan sebagainya. Jangan sampai nama atau penggambaran identitas tersebut sampai punya makna ganda yang ‘tak diinginkan’. Buat orang yang nggak tahu, mereka akan nggak tahu. Buat orang yang tahu…ya, mereka bakal ngakak atau naekin alis setinggi-tingginya. Kalau ada kucing Indo, namain aja si Pus, Mpus atau Manis aja. Jangan Pussy. Jangan dikasih nama Anu juga. Kalau karakternya namanya Susi, jangan dipanggil ‘Su!’. Kalau settingnya di Jawa Timur, karakternya jangan dikasih nama ‘Chuck’.

Ngomong-ngomong, punya suami kaya Ahmad, asik juga ya :D. Suruh aja dia ngapain, pasti dilakuin. Maapin orang teh susah, tapi begitu disuruh sama arwah istrinya dia mau-mau aja. Bahkan sampai bilang, “izinkan Ayah mengganti kekejaman Ayah dengan cinta kasih yang berlimpah”. Wow. Untuk ke depannya, kalau saya jadi Princessa mungkin saya bakal bilang, “Ayah, tadi ibu datang dalam mimpi dan bilang kalau Ayah harus belikan baju baru buat Princessa” :DDDDD… mwahahahaha. Om Ahmad udah jadi anggota ISTI. Ikatan Suami Takut Istri.

Posted in Uncategorized | 6 Comments

PACE

Ditya Adi Chiptapraja, seorang karyawan perusahaan elektronik dan multimedia terkemuka U inc. Memiliki motivasi bersaing yang sangat tinggi untuk memperoleh kedudukan nomor satu di antara yang lainnya. Ia menjadi lupa diri dan mengabaikan hal-hal penting di sejitarnya.

Segalanya terlihat sempurna hingga suatu hari, salah seorang karyawan satu divisi menjebak dan mempermainkan hidup Ditya dengan tuduhan bahwa Ditya memalsukan seluruh data keuangan U Inc.”

By : Rimanti N.
Published by : KOLONI

Membaca komik ini membuat saya berkata dalam hati, “Akhirnya saya bisa melihat orang GILA bikin komik.” Eits. Gila di sini berarti positif. Artinya saya udah ngga punya kata-kata yang lebih pantas lagi buat memuji baik skill maupun kesungguhan komikus yang satu ini. Maka ‘gila’ adalah kata yang saya pilih sebagai sanjungan tertinggi buat gadis SMA ini. Yah, SMA. Pas SMA saya dulu ngapain aja yak =w=a ber-emoemoemoemoemo ria meratapi nasib sebagai anak SMA? Hahahaha. Walau komikusnya bukan anak SMA sekalipus, saya akan tetap toast untuk segala usaha dia, mulai dari penggambaran yang apik hingga pemilihan tema yang ngga biasa.
Oke, saya mau mengadakan pengakuan dosa sekarang. Dulu sekali, entah kapan, saya pernah membaca secara random di FB tentang seorang calon komikus yang bertanya mengenai plot or sumthing milik karakternya yang bernama “Ichi”. Karena bau namanya terasa Jepang banget, saya pikir ceritanya bakal berkisar ke situ-situ aja. Tapi setelah saya baca lebih jauh, komikus ini ternyata ingin membuat cerita semacam… detektif or sumthing yang membuat saya berpikir, “you sure, you’ll do thaaa…t?” dan saya menutup halaman itu dengan pikiran, “sayang banget, andai dia milih tema lain tentu lebih menarik,” Ternyata saya terpaksa menundukkan kesombongan saya waktu mbaca komik ini malam ini 🙂 Mbak Rimanti hebat. semua hal yang saya kira ‘point minus’ oleh beliau bisa diubah menjadi ‘point plus’. Saya ngeri membayangkan waktu di mana sang komikus mendapat waktu yang bebas buat ngomik. Lha wong pas SMA aja mbikinnya kayak gini, gimana besok-besok. Ya to?

First Impression
Kalau ini komik dari luar, mungkin ngga akan langsung saya ambil dari rak. Lha wong saya ngga terlalu suka segala sesuatu berbau kantoran. Di kepala saya, yang namanya orang kerja di kantor itu ya… mbosenin. Tapi untunglah, fasilitas internet dan FB menyelamatkan 🙂 Gaung mengenai komik yang dibuat oleh ‘anak SMA’ dan gambar-gambar teaser yang menjamin ini membuat saya membeli komik ini dengan sukarela (apalagi pernah ketemu sama komikusnya asli, ndak enak aja kalo ndak beli gituh 🙂 /plakplok ). Mengambil tema kehidupan kantor dan orang-orang berdasi memang cukup beresiko karena genre itu ngga selalu diterima semua orang. Tapi eksekusi cover PACE ini cukup apik, dengan warna-warna yang terang dan sampul belakang yang membuat orang jadi berpikir kalau ini adalah komik mafia, cukup membantu. Ditambah lagi pertanyaan yang menggelitik langsung terpampang di halaman depan: WHAT HAVE YOU DONE FOR YOUR LIFE? Oh yeah. Great trick. 😀

Art
Secara overall, saya demen sama gambar dan panelingnya. Pengungkapan emosi wajah tiap karakternya cukup kena, diferensiasi karakternya juga oke–walau saya suka ketuker yang mana Irvin mana Ario. Lol. Rambutnya mirip. Penggambaran backgroundnya asoy, saya ngga perlu mikir dua kali untuk tahu mereka lagi ada di mana. Tanpa menyebut mereka ada di Jakarta pun saya udah dapat gambaran kalau, yea, inilah kehidupan para eksekutip. Penggambaran gesturenya pun cukup oke, saya bisa ngerasa tegang pas si Inchi udang ngacung-ngacungin pistol di halaman awal.
Cuma, hal yang mengganggu mungkin malah ketebalan garis dan terlalu banyaknya area bayangan hitam pada karakter. Satu sisi, di komik-komik cowok (baik seinen maupun shonen) hal ini udah menjadi ‘makanan umum’, tapi kalo kelebihan jadinya ngga enak dilihat juga. Garis-garisnya masih kurang stabil, tapi karena ini percobaan pertama dan sketsa dasarnya udah lumayan acceptable, jadi dimaafkan 🙂 haghaghag. Panellingnya oke. Minimal mata saya masih bisa bergulir dengan nyamannya dari halaman satu ke halaman lain dan sesekali berhenti hanya karena ngelihat area hitam tebal yang agak menyandung penglihatan.

Story
What can I say about it…? It’s… almost… perfect. Halaman demi halaman saya buka dengan lancar, saya melupakan dunia luar saya dan begitu tenggelam ke dalam ceritanya. Kalaupun ada hal-hal yang mengganjal, saya tidak mempedulikannya dan segera melompat halaman berikutnya. yang hebat sih, saya ngga memfavoritkan tema dan latar belakang cerita ini tapi bisa MENIKMATINYA. All hail to the writer. Pembukaannya mengundang rasa ingin tahu, endingnya pun manis dan menggelikan. Semua berjalan begitu baik dengan konklusi yang menyenangkan untuk semua–kecuali buat penjahatnya 🙂 well, at least he choose his own path. Sekali lagi selamat buat sang penulis yang udah mbikin dagu saya njeplak ketika membaca daftar REFERENSI yang lumayan gemblung di bagian belakang. Terbukti si penulis benar-benar mengadakan riset yang mendetail sampai ke sendi-sendi dan tulang rawan. Akhir kata… BELI BUKU INI SEGERA >D Ndak nyesel deh.

Posted in Uncategorized | 2 Comments

FIX-UP

Ketika menghadapi ketidakpuasan dalam hidup, benarkah apa yang kita inginkan adalah solusi yang tepat? Jika meminta pada orang lain bisa menyelesaikan masalah, apakah manusia bisa puas dengan hasil yang tidak dia usahakan sendiri?

“Fixer di kota ini cenderung menambah masalah dibanding menyelesaikan masalah…
Mulai dari membuat orang terus menerus menjalani hari yang sama, sampai membuat seluruh kota kebanjiran hamster. Padahal fixer mestinya adalah makhluk penolong…”

By : Ekyu
Penerbit : KOLONI

Saya dari dulu udah ngepens sama EKYU 🙂 mungkin sejak jamannya Tabloid HOPLAA jaman SMP dulu. Mungkin ada yang pernah sezaman sama saya? Hahaha. Pas jaman dulu, gambar2 Ekyu termasuk yang amazing, toning dan penintaannya rapi serta gambarnya khas (rada-rada kaya CLAMP, tapi siapa sih yang pada awal debutnya ngga terpengaruh sama artist tertentu?). Jadi ketika FIX UP muncul ini, saya udah banyak berharap banget, komik ini akan memberi saya kepuasan seperti yang sudah-sudah. Kayaknya Ekyu dari dulu sering mbikin komik-komik fantasy semacam ini. Saya malah kaget waktu debutnya di Koloni, beliau-beliau ini malah mbikin komik yang ‘membumi’: MORTE. (Soal Morte, akan saya bahas di postingan berikut. Komiknya nyelip entah ke mana nih TAT…)

First Impression
Colorpuulll~~~ *///w///*
Warnanya seger, dingin dan… cukup merepresentasikan apa yang mau diungkapkan di cerita tersebut. sebuah cerita fantasy yang melibatkan beberapa individu, dengan bocah di sampul depan sebagai tokoh utama. Cuma, sayang banget gambar orang-orang di dalam bola itu ngga kelihatan. Jadi rada sayang aja, nampang di depan cuma sebagai tempelan 😛 Tapi karena udah ada si ‘Fixer’ sang tokoh utama, jadi ngga terlalu masalah. Gambar latar belakangnya yang rumit juga mengindikasikan kalo ini komik ngga dibuat sembarangan. Ah, cover memang segalanya XD. Orang bisa ngambil atau ngga jadi ngambil buku tertentu bisa diakibatkan karena cover. Tapi sebaiknyalah, kualitas cover dengan kualitas halaman dalam ngga terlalu beda jauh (jadi intinya, luar apa dalem, bikinlah yang bagus <<permintaan buat semua komikus

Art
Gimana ya… saya oke-oke aja sama art mbak-mbak yang satu ini. Denger-denger kalo buat standart Jepang, linenya sih ketebelan. Tapi buat mata saya, pas-pas aja. Gambarnya emang manga dan karrttttuuunnnnnn banget, tapi lihat dulu isi ceritanya. Kalau ada buku cerita yang bisa menghibur sekaligus ‘menggurui’ tanpa merasa digurui, itulah Fix-Up. Perbedaan karakter satu dengan karakter yang laen cukup terasa. Pembuatan karakternya rada-rada klasik (cewek pemarah, cowok pendiam, cewek ceroboh, dll), tapi kelebihannya : JELAS. Saya bilang, di komik FIX UP ini, Ekyu cukup berani memainkan panelling yang ngga biasa–mengingatkan saya sama komik BOCAH. Dia tidak takut menyejajarkan kotak dengan kotak dengan kotak dengan kotak (yang berarti: banyak kotak) dalam satu halaman, dan hebatnya, penyusunan panel yang demikian tidak membuat pembaca (minimal saya) bosan. Detail gambarnya oke. Beberapa toning–terutama yang banyak daerah abu-abu agak mengganggu, tapi sekali lagi bisa dimaafkan 😀 . Apalah arti setitik tuba dengan lautan susu. Haghaghag.

Story
Saya suka. Hahahahah. Bodoh. Konyol dan tolol.
Oke, mulai dari temanya dulu : “Ketika menghadapi ketidakpuasan dalam hidup, benarkah apa yang kita inginkan adalah solusi yang tepat? Jika meminta pada orang lain bisa menyelesaikan masalah, apakah manusia bisa puas dengan hasil yang tidak dia usahakan sendiri?” Jujur, saya seneng sama tema ini. Tema membumi yang cukup menggelitik karena sering kita temui sehari-hari. Ambil contoh aja, mengenai anak-anak SMA yang mencontek <–berhasil mengerjakan ulangan tapi bukan dengan usaha belajarnya sendiri. Yaah… intinya tuh mengenai “bener ngga sih kalau kita mendapatkan sesuatu tapi dengan bantuan orang lain dan bukan dari usaha kita?”. Jawaban itu ada pada diri masing-masing. Komik ‘Fix-Up’ ini hanya membantu pembaca untuk membawa pertanyaan itu ke permukaan. 🙂

Tema mendasar itu oleh komikusnya dibawa ke permukaan dengan gaya joke (yang sangat kontras dibanding komik-komik terdahulu: Chiaroschuro dan Morte) harian, melalui tokoh-tokoh:  seorang gadis yang umurnya jadi bertambah panjang, pemuda kantoran yang setiap harinya mendapat kejadian berulang, anak kecil yang orang tuanya bergabung dalam satu badan, cowok pendiam yang tiba-tiba punya kembaran dan cewek yang piaraannya jadi ribuan (atau puluhan ribu). Dari temanya aja udah menarik, ditambah lagi masalah-masalah yang ‘eyecatching’ alias ngga biasa, plus gambar yang ‘blink-blink’ dan menyenangkan.

Joke-jokenya masuk banget. Saya (yang notabene kata orang susah ketawa kalo baca komik lucu) bisa ngakak di beberapa spot. Gerak dan bahasa tubuh para karakter ini sesuai banget sama joke yang dibawakan. Komikusnya tahu kapan harus menggambar chibi (karakter-karakter cebol) dan kapan harus menggambar karakter yang serius. Dan hebatnya, saya ngga tahu kapan jokenya bakal keluar. Bisa saja di salah satu adegan yang cukup ‘serius’, jokenya mencuat begitu saya. Tapi tenang, joke-joke itu ngga mengganggu bagian-bagian yang memang serius dan penting kok.

Khasnya Ekyu, kalau saya perhatikan dari dulu adalah: ceritanya selalu detil. Ya. Detil sampai ke bagian-bagian yang kecil. Bahkan kalau sampai kita melewatkan salah satu informasi, cerita di kepala kita bisa bubrah (kejadian nyata, saya musti membaca Chiaroschuro, Morte dan Fix-Up beberapa kali untuk menyatukan ‘mata rantai yang hilang’). Entah ini bisa dibilang ‘nilai tambah’ atau ‘nilai kurang’, saya nggak tahu. Satu sisi, bagus banget karena ceritanya bisa detil. Sisi jeleknya… naro hintsnya itu kadang-kadang di tempat yang ngga kelihatan sama sekali. Saya sampe ngarep suatu saat Ekyu bakal bikin serial detektif, di mana hints harus disembunyikan di tempat yang sangat tersembunyi. Haghaghag. Becanda.
Lalu, pada beberapa bagian, saking padatnya informasi, ceritanya jadi rada ‘menyesakkan’. kalau untuk saya, terutama di bagian chapter ‘X-rimia’. Ketika karakter tengah dikejar lautan hamster, mereka harus menemukan Fixer. Dan out of blue, salah dua karakter menyebutkan bahwa ada programmer yang kemungkinan bakal ditemui si Fixer. Dan mereka segera berlari menuju ke rumah si programmer dan pas banget bisa ketemu tempat yang dicari. Dan setelah berhadapan dengan programmer setelah diselingi informasi soal apa itu ‘X-rimia’, tiba-tiba Fixer muncul begitu saja dan mengacaukan situasi. Jadi bertanya-tanya, mungkinkah jumlah halaman menjadi masalah untuk menjabarkan cerita ini menjadi lebih ‘kalem’ dan bukannya bertubi-tubi semacam ini? Well…only God knows 😛

Overall, ini komik menghibur banget. Kemunculan Vixen di bagian akhir bab menimbulkan rasa penasaran. Saya ngarep, di buku selanjutnya ada masalah yang lebih besar yang melibatkan si Vixen dan mengorek soal apa dan siapa para Fixer ini sebenernya. Ah, manusia kok seneng banget sama masalah ya =3=a. Huhuhuh. Masalah membuat dunia ‘indah’ deshou~?

Note buat mbak-mbak Ekyu : saya tunggu kaos Fix-Upnya :D~ *siapasaya.com*

Posted in Uncategorized | 6 Comments

SEER

By : C. Suryo Laksono
Penerbit : KOLONI
Harga : (tar saya cek lagi, lama ga beli buku non-diskon)

Begitu saya mbaca sekilas pintas soal komik ini dari Facebook si penulis, saya udah nunggu kapan komik ini bakalan terbit. Tema ‘anak indigo’ yang diusung membuat saya berharap yang macem-macem dari komik ini. Maklum aja sih, saya dulu pernah mbaca artikel soal anak indigo yang dianggep sebagai ‘anak yang berpikiran lebih luas daripada umurnya’ atau ‘anak ajaib’, ditambah lagi dengan cerita Titan yang sempet rada stress waktu kerja di lembaga yang ngurusin anak-anak indigo. Pikir saya, ‘anjis, berani banget. Tema anak indigo teh beraaaatt…’. Tapi habis saya membuka lembar demi lembar, kayaknya anggepan saya salah :P…. Bukunya ngga berat-berat amat ternyata. Tapi tetep dalem.

First Impression

Di Facebooknya, si penulis sempet majang beberapa sample cover SEER. Goresannya sempat mengingatkan sama “Monster”, karyanya Naoki Urasawa. Dan ternyata waktu launching, si penulis emang ngaku kalau dia penggemarnya mas Urasawa :). Wajar doonkk… saya jadi tambah ngarep sama komik ini. Apalagi ditambah dengan tampang tokoh utama yang digambarkan sebagai anak yang… well… gimana cara ngomongnya ya? Si tokoh utama ini cara mandangnya kaya males banget, ga peduli sama sekeliling dan seakan ‘sekedar hidup karena harus hidup’. Paass…banget di mata saya XD. Heghegheg. Pas covernya keluar, eh ternyata beda dari harapan. Satu sisi emang lebih bagus dari segi teknik, sisi lain saya kurang suka soalnya muka si tokoh utama ga terekspos, padahal saya suka banget. Haghaghag. Tapi ini pendapat (dan egoisme) pribadi aja sih. Cover barunya lumayan oke kok. Minimal orang yang ngambil buku ini di rak buku bisa langsung tahu kalau buku ini emang bagus (dari sisi kualitas) dan bertema ‘cukup’ serius.

Art
Gambar dalamnya… simpel. Ngga ribet dengan terlalu banyak arsiran atau detil. Beberapa orang mungkin lebih suka gambar yang justru ‘ribet’ dan terlihat ‘indah’, tapi buat saya, justru kesederhanaannya yang membuat ceritanya lebih menonjol. Yang saya kagumi dari komik ini adalah paneling dan pemilihan angle. Cara saya untuk menilai panelling dan angle komik punya orang adalah: apakah ketika saya membaca komik tersebut, ada waktu bagi saya buat mengerutkan kening? Kalo nggak ada, berarti komik itu ‘lumayan lulus’ 😛 Dan pas saya mbaca komik ini, Alhamdullillah NGGA PERNAH saya berhenti di satu halaman buat mencela. Wkwkwk.
Walau demikian, tetep aja selama membaca komik ini, saya harus bertahan untuk tidak terganggu dengan satu hal: toning. Komik ini memang punya kesan ‘dalam dan serius’ walau berusaha diungkapkan dengan gaya yang ringan, mungkin itulah yang menyebabkan  toning yang bergradasi dan abu-abu bertebaran di sana-sini. Jujur saja, sampai sekarang saya juga masih bingung, apa yang menyebabkan mata saya kurang bisa beradaptasi dengan toning abu-abu ini. Sejauh ini yang bisa saya temukan adalah :
1. bentuk tone yang mirip. Walau kerapatannya berbeda, tapi bentuk tone yang mirip… tetep aja mirip! Jadi kadang-kadang satu benda dengan benda yang lain kelihatan ‘ngeblend’ walau kalau diperhatikan bener-bener sebenarnya ya nggak ngeblend-ngeblend amat.
2. pemotongan tone yang kasar. Terutama di bagian bayangan baju atau awan. Saya masih inget, temen saya sampe bilang “bikinnya pake mouse nih. Habis motongnya kaku banget,” sambil menunjuk ke gambar close up di bagian belakang buku. Kita emang ngga bisa menyalahkan diri sendiri, keterbatasan alat memang suatu saat bisa jadi kendala. Tapi bukan berarti kita bakal bertahan dengan kelemahan itu, no? :3

Selebihnya sih… oke. Saya ngga terganggu juga sama pemilihan angle dan lain sebagainya 🙂 Karakter satu dan lain bisa dibedain dengan baek. Kostum dan lain-lain… sip. Ngga luar biasa banget tapi juga ga parah XDD (maaf, kepaksa nyinggung soal ini, soalnya ada beberapa pembaca sempat protes mengenai kostum yang ‘ngga matching’ di salah satu komik lokal).

Story
Walau ketika saya lihat rancangan cover awalnya saya teringat Naoki Urasawa, tapi ketika membaca komiknya, saya teringat anime Kino no Tabi (Kino’s Journey). Mengusung konsep yang sama: perjalanan seorang anak dari kota ke kota dan mendapat sebuah kesimpulan dari setiap kota yang dia singgahi. Ngga bisa dibilang menjiplak juga karena cerita yang diusung memang berbeda sekali dengan Kino no Tabi. Dengan alasan dasar mencari adiknya yang hilang, berlatar belakang Indonesia tahun 2375, Abi–sang anak indigo tokoh utama cerita ini, berkelana dari kota ke kota berbekalkan kemampuannya berteleportasi yang didapat dari…er…penelitian di masa lampau? (wow! saya berhasil mbikin loglinesnya! 8DDD *halah*)

Ke-indigo-an anak ini bisa dilihat dari cara dia berpikir yang jauh di atas usia orang-orang di sekitarnya. Well…saya sempet ngarep si anak ini punya kelebihan yang lebih daripada itu sih 😛 bisa terbang atau liad setan gitu–ndak, becanda. Saya seneng sama setiap cerita di komik ini dan bersorak gembira waktu tahu cerita ini bersambung. Berarti saya bisa baca lebih banyak cerita yang serupa. Awalnya saya ngga terbiasa dengan hal-hal ‘aneh’ yang terjadi di awal-awal cerita, misalnya tentang seorang pegawai negara yang dikejar-kejar hendak dihukum mati lantaran MENCURI AYAM. Tapi begitu saya baca, saya mulai bisa paham. Cerita ini mengandung banyak simbolisme-simbolisme yang mengacu pada dunia kita. Pada awalnya mungkin kita bisa menertawakan hal-hal tersebut ( “plis deh, nyolong ayam aja sampe kudu dibunuh segala”), tapi di akhir cerita yang ada justru kita ketawa miris karena merasakan adanya kesamaan antara cerita ‘konyol’ ini dengan ‘sesuatu’ di dunia kita. Dan berita baiknya adalah, orang yang ngga bisa mengkait-kaitkan cerita di buku ini dengan dunia nyata karena ngga punya informasi yang cukup pun masih bisa menikmati cerita tersebut tanpa merasa terganggu. Kalau boleh milih sih…cerita favorit saya soal negeri robot di bagian akhir, lalu tokoh favorit saya tuh si robot penjaga Negri Bubu XD. Biarpun ‘cuma’ robot yang ngga bergerak sama sekali, entah kenapa si penulis dan penggambarnya bisa banget menggerakkan emosi saya.

Ada perasaan baru yang muncul, yang belum saya dapatkan dari komik-komik Koloni terdahulu : perasaan bahagia melihat angka ‘1’ di cover depannya. Yang berarti : “Wow, masih ada lanjutannya! Aseeekkk…” Buat seorang komikus, mungkin pikiran pembaca yang demikian adalah sebuah pencapaian yang luar biasa :3 Ndak banyak lho komikus yang bisa membangkitkan rasa penasaran dari pembacanya. Selamat Mas Suryo dan segenap rekannya! Kalau SEER 2 udah terbit, minimal sampeyan udah dapet 1 pembaca setia :)) : saya.

 

Other review :

– By Peter Prabowo

Posted in Uncategorized | 11 Comments

Editor Oh Editor

EDITOR OH EDITOR
by. Daisy Ekawati

Saya punya editor. Saya penerjemah, kadang2 ngedit juga, tapi banyakan jadi yg diedit. Mulai dari diedit dikit sampe bagian2 yg kudu dirombak total. Editor saya seorang mbak2 yg dgn kurangajarnya tdk saya anggap editor, tapi mbak betulan, alias kakak. Jam terbang mbak ini JAUH lebih tinggi dr saya. Ibaratnya, saya tokolan alias kecambah kacang ijo yg baru mulai nongol daunnya setelah ditebar ke tanah belum lama ini sedangkan mbak saya ini sudah jadi pohon yg berurat berakar meski masih cukup muda. Pokoknya bagai langit & bumi. Beberapa orang MENYANGKA saya cukup hebat & saya minta mereka kenalan dgn mbak yg satu ini utk mengetahui apa-siapa yg sebenernya SANGAT LAYAK dianggap hebat.

Tugas editor? Gila berat luar biasa. Sejauh ini, saya belum kuat utk mengambil alih tugas sbg editor. Novel calon editan menumpuk setinggi kepala di meja, antri tiada henti, deadline tiada akhir terus memburu.Selalu multitasking, bisa ngerjain fiksi & nonfiksi sekaligus. Kadang buku fotografi beriringan novel fantasy romance. Atau buku membatik & novel historical. Kadang lebih parah lagi, bisa 3 buku yg bedanya bak langit & bumi dihajar barengan. Terbayangkan gimana caranya membagi otak dalam kasus begini? Saya, jujur saja, susah membayangkannya, apalagi melakukannya sendiri. Spt yg saya katakan tadi, saya masih kecambah yg entah kapan bisa sanggup bekerja sekelas mbak saya ini.

Saya sering sakit hati kalo ada yg mengucapkan kalimat2 bernada apriori terhadap jasa editor. Entah disengaja atau tidak. Entah dlm skala kecil atau besar. Entah itu editor komik/novel/buku referensi umum/buku teks. Ini bukan karena saya juga TERKADANG menjadi editor. Tidak, sama sekali tidak. Ini lebih pada perasaan & penghargaan. Bagi saya, editor saya BENAR-BENAR coach saya. Dalam hidup & dalam tulisan. Dia bukan hanya ‘tukang kontrol’ atau ‘mandor tulisan’, dia juga menyerasikan setiap patah kata yg tertera dgn sense sebuah karya, entah fiksi/nonfiksi, secara keseluruhan. Editor juga yg membangkitkan semangat saya saat BADAI MALAS melanda, saat saya sumpah sambar geledek kehilangan minat mengetik satu pun halaman terjemahan. Saya diingatkan bukan dgn momok ala genderuwo bernama deadline, tapi lebih dgn pengingat bahwa ADA orang2 yg menanti karya saya. Para pembaca & penggemar yg harap2 cemas menanti karya berikutnya. Penginga yg bukan cuma membangkitkan semangat, tapi juga membuat saya merasa dinanti & dibutuhkan.

Saat SMU, saya pernah dijuluki ‘nona editor’ dalam chapter tertentu hidup saya yg sayangnya skrg sudah pudar. Waktu berlalu, alih-alih menjadi ‘nona editor’, kini saya seorang ‘nona penerjemah’. Yang masih sangat amat super jauh dari sempurna. Nona editor adalah mbak saya, yg dgn telaten memeriksa typo2 saya yg segunung banyaknya, mengecek ulang ‘hobi’ saya yg lupa memberi font bold atau italic atau <span>underline</span>, membenahi struktur kalimat saya yg terbalik2 antara bhs Indonesia & Inggris. Yg tidak lupa mengajak saya brainstorming ttg pemilihan cover, bonus novel, sense kalimat yg lebih menggelitik rasa penasaran pembaca & berton-ton ilmu baru lainnya.

Bagi saya, punya seorang editor sungguh pengalaman LUAR BIASA. Bagi saya, editor adalah teman, life coach, tempat brainstorming yg selalu membuka mata saya lebar2 akan begitu banyaknya hal baru dalam hidup. Dan sungguh benar, dialah yg menggosok seluruh karya kita, diamonds in the rough, menjadi berlian dgn faset indah nyaris sempurna yg akan memukau mata mereka yg melihatnya.That’s why, sayangilah editor anda…..

 

(Note : yang mau kasih tanggapan, silakan menuju link di atas :D)

Posted in Curhat Editor | Tagged | 5 Comments

Confession

Halo, teman-teman 🙂
Sudah sekian lama saya ngga ngereview komik-komik KOLONI terbaru, padahal saya ngakunya sih ‘pemerhati koloni’. Hahaha. ada beberapa alasan yang membuat saya ragu untuk menjentikkan jari di atas keyboard untuk menguliti komik-komik anak bangsa kita ini. Pertama, kebetulan akhir-akhir ini saya rada banyak kegiatan yang bertubi-tubi, jadi waktu untuk sekedar duduk tenang dan menelusuri lembar demi lembar terasa tak ada (waktu kosong sering dipake buat bobo–atau maen gem, ngahahahaaha /bangga /plakk). Alasan kedua, saya TAKUT review-review saya ngga sebanding dengan komik yang sedang saya kerjakan. Takut dibilang SOTOY, padahal bikin komik aja masih pas-pasan. Hahahahahah.

Tapi ada hal yang bikin saya terpana kemarin.

Ketika saya ngunjungin acara Launching Komik Koloni di Mal Ciputra tanggal 26 September 2010, saya ketemu sama Mas Ockto Baringbing sang otak di balik Komik “Merdeka di Bukit Selarong” dan “B.O.C.A.H”. Beliau malah ‘nagih’ review saya (boleh ya maaass, saya pake kata ‘nagih’ 🙂 Ge Er dikit boleh dunk /winks ). Bahkan Mas Suryo yang mbikin komik “SEER” juga bilang, “wah, habis ini komik saya direview juga nggak nih?”–or sumthing like that yang sempat bikin saya megap-megap sejenak. Kalimat sederhana dari orang-orang yang saya kagumi membuat semangat saya tumbuh lagi.

Jadi setelah hari ini, saya akan berusaha mencari waktu buat bertapa, merenungi komik-komik Indonesia yang sedang menggeliat saat ini. Mas Ockto bilang, kita butuh banyak reviewer, karena penulis juga butuh mendengar pendapat pembaca. Biarlah, saya belum menjadi seorang komikus yang baik tapi seenggaknya saya ingin berusaha menjadi seorang pembaca yang baik yang bersedia memberi tanggapan dan harapan untuk komik-komik lokal.

Anyway, saya sempet ngerasa di beberapa review, kata-kata saya rada tajenm dan mungkin berkesan kurang ajar (terutama di bagian komik “Creator Jade”. Maaf ya Mas Alfaaa… /sujud ). Saya juga mohon dukungan teman-teman untuk mengingatkan kalau saya udah mulai kebablasan :))

Semoga review-review saya bisa jadi bahan diskusi yang baik buat kita semua. Amen,

Osa
28 September 2010

Posted in Uncategorized | 5 Comments

1SR6

 

Oh, saya memang tega. Dari dulu mau ngereview komik yang satu ini tapi blom jadi-jadi gara-gara satu dan lain hal (lupa, ngga sempet, males, blom ada ide, lagi sarcasm tingkat 4l4y, dll). Tapi ada baiknya juga saya tahan review saya sampai hari ini. Kalau dulu, pendapat saya terbutakan oleh rasa cinta-Jogja yang l3b4y, tapi setelah beberapa saat mata saya terbuka oleh berbagai diskusi dan komentar dari teman-teman penikmat komik. (Yea, dude. Saya cinta kota saya, jadi kalo mau menambah satu pembaca setia, singgung aja soal Jogja dengan kuantitas 80% dari keseluruhan isi buku *oke,siapasaya*) Okeh, mari bersiap untuk mengupas komik inih. Wahay Matt0 tercintah, kuharap dirimu masih mau bersediya menyediyakan teh sekedarnya kalo saya berkunjung ke rumahmu kelak, walau sudah kuiris bukumu di sini <3~

First Impression
I like this book. Untuk generasinya, buku ini memberikan sinar yang cukup beda dan cerah. Gambarnya shonen dengan detil yang bisa dibilang…e…antara minimal dan maksimal. Minimal karna ekspresi dan penggambaran muka yang ngga lebay, bola matanya ngga sampai 5 senti, garis ekspresi digambarkan dengan cukup sederhana  tapi mengena (Istilahnya, nggambarnya cuma ‘mak crut’ dengan hasil efek yang ‘mak nyos’. Hahahaha)—catet yaw, saya baru sampe ngliad covernya loh, blom ke bagian dalemnya.  Maksimal karena… keren dan detil gituh covernya. Wkwkwk. Ada yang bilang, kualitas covernya mirip sama komik Alive terbitan….elex apa MnC ya—yang critanya soal orang2 yang punya kemampuan khusus noh. Covernya digarap secara manual namun manis dan detil. Di bagian depan ini, saya langsung berharap saya bakal melihat cerita mengenai SEBUAH KELAS. Dan, wow, kelas berandalan, Man. Sekolah seni, lagi. Jarang yang ngangkat tema seperti ini, kebanyakan kalau ngangkat soal sekolah mah sekolah biasa aja tuh, dan fokusnya satu orang aja. Di komik ini saya sungguh berharap bisa melihat satu persatu personality dan cerita hidup anak-anak penghuni 1SR6.

Art
Gue bangeeett… hahaha. Maaf, maaf. Kalau ada yang artnya kaya ginian, saya suka. Yea, secara hierarki saya suka gambar-gambar ala shonen semacam ini. Bukan berarti saya menolak gambar shoujo style, tapi entah kenapa mata ini lebih tahan melihat kepalan tangan dibanding bulu mata—oke, stereotip, maaf sekali lagi J. Secara gambar, saya acungin jempol deh. Khas Matt0 banget. Kalo dijejerin sama komik-komik bergenre serupa, bakal langsung dikenali. Penggambaran efek yang khas komik cowok pun pas-pas aja. Garis putus-putus yang kadang suka nongol pun (buat saya sesuatu yang baru, umumnya komik shonen mah garisnya padat) ngga terasa mengganggu, malah kaya jadi…khas gituh? Karakter disainnya oke, satu sama lain SANGAT bisa dibedakan—walau mungkin karna karakternya sebagian besar Cuma numpang lewat, saya tetep ngga bisa inget mereka satu persatu.

Ada hal kecil yang saya suka. Perhatikan seragam batiknya. Polanya disesuaikan besar keclnya tergantung angle. Merupakan bukti kalo si komikus ini emang rajin banged. Kalo dia males mah udah dari dulu asal teplok, ga usah peduliin perspektif dan berpikiran ‘toh cuman pattern’. 😛 congrats, Matt0. hal kecil kaya gini sudah memikat hati saya. Wkwkwkwk..

Hal yang mengganggu? Ada donk. Meskipun saya udah diperbolehkan ‘ngrampok’ scanlation dari komputer sang komikus sendiri pas saya kunjungan ke Lesehan Studiyo, bukan berarti saya akan menganakemaskan beliau ini :P. Saran saya sih, si illustrator musti banyak gaul sama cewek-cewek lebih sering deh. Saya sebagai cewe pas ngebaca komik ini ngerasa kalau –somehow- ekspresinya rada monoton. Kesan cewe-cewenya di sana kebanyakan centil, imut atau malu-malu walau satu dua ada yang berangasan. Yah… jangan berarti komik shonen trus tokoh cewek jadi rada dinomor duakan. Pada beberapa komik, pembaca laki-laki justru mencari komik shonen buat ‘memanjakan’ mata mereka, deshou? Kalo buat karakterisasi cowok-cowoknya udah oke deh.

Oh ya, ada lagi neh yang saya suka. Garis dia bisa berubah. Berubah bukan dalam arti ngga stabil, tapi dia bisa menyesuaikan diri dengan cerita. Di gambar yang memerlukan kesan hening, dia bikin garisnya tipis. Di gambar yang memerlukan efek tegang, garisnya jadi keras. Dan –buat saya- hal itu ngga mengganggu kenikmatan saya membaca. Overall, ini komik keren abis dari segi art.

Tapiiiiiiiiiii…

Ada komentar dari senior saya. Beliau dengan terang-terangan berkata kalau dia nggak suka gambarnya. Nggak suka bukan berarti gambar 1SR6 ini jeleg, ya. Itu Cuma masalah selera pasar saja. Ya, pasar. Kebanyakan pasar lebih suka gambar yang ‘umum’ dan ‘mudah dicerna’. MUNGKIN hal ini yang membuat salah satu penerbit komik lokal lebih suka menerbitkan komik dengan serial CEWEK bergambar BLING-BLING dan mayoritas bergenre ROMANCE (apaboleh buat wahai para lelaki, rasio cewe dan cowo denger-denger udah sampai 9:1?). Ya, karena mayoritas pasar lebih suka yang semacam itu. Komik-komik semacam 1SR6, BOCAH atau BENGAL kayaknya musti pinter-pinter mengambil celah, lantaran setahu saya, gaya gambar mereka bukan termasuk gaya gambar populer. Tidak, saya tidak memohon anda-anda sekalian yang bergaya gambar ‘khusus’ untuk beralih ke gaya gambar ‘populer’. Tapi seenggaknya, dengarkan keinginan pembaca dulu, baru nanti pembaca akan mendengarkan idealisme anda. Kalo anda pede sama gaya gambar yang sekarang dan tetep yakin bahwa pembaca masih bisa menerimanya, go on guys. Kalo ngga, mungkin ini saatnya untuk belajar memblending antara gaya gambar ‘populer’ dan gaya gambarmu sendiri :P. Yaaa… kalo lu tetep keras kepala make gambar lu sendiri walo tau pembaca ga suka ya jangan salahkan kami kalo bukumu sekali buka langsung dibuang. *sarcasm*

Story
Kesan pertama : BINGUNG. Ya donk. Saya gituh. *halah*

Di depan-depan kan sudah tersirat dan tersurat bahwa komik ini adalah mengenai KELAS 1SR6. Tapi kok di halaman-halaman buku awal yang banyak diungkap kok malah soal seorang individu? Oh, oke, mungkin ini memang soal seorang individu yang bertinggal di 1SR6—begitu pikir saya. Ketika cerita merambat sampai ke tengah, fokus beralih ke kelas. Huh? Di bagian belakang, kembali ke si tokoh ‘utama’ tadi. Yea, mind set saya dipermainkan di sini. Bahasa sederhananya adalah : kurang fokus. Perpindahannya kurang mulus. Di saat-saat saya udah pengen tahu hal-hal mendetail soal si tokoh utama, tiba-tiba fokus saya dipaksa berali ke keadaan kelas. Pas saya mulai menikmati keadaan kelas, eh…di endingnya malah soal si tokoh utama lagi. Dua bagian itu : tokoh utama dan kelas, terasa seperti dua buah cerita yang berbeda tapi dipaksa untuk bersatu. MEMANG tokoh utama adalah bagian dari kelas, tapi ceritanya tidak bergandengan bersama dengan manis.

Trus…ada kelebayan yang kurang pas. Oke, saya paham, kelebayan bisa menjadi bumbu yang asoy kalo dimasak dengan asik. Waktu saya mbaca Mr Fullswing dan Bowling King (keduanya diterbitkan oleh elexmedia), kelebayan semacam muncul di BANYAK halaman. Kalo udah kebanyakan kaya gitu bisa bikin mual. Kalo cuma dikit-dikit, dengan kadar yang stabil dan nyelip di tempat yang tepat, pembaca bakal suka. Di 1SR6 ini, dari awal saya seperti dibawa ke sebuah cerita yang real, yang nyata dan memang ada dan pernah terjadi di belahan bumi entah sebelah mana. Tapi tiba-tiba di tengah cerita tiba-tiba muncul helikopter dan Men In Black entah dari mana dan hal itu rada merusak ‘ke-down-to-earth-an’ yang saya nikmati. Lucu sih…Cuma rada maksa. Kalau emang mau dibikin lebay ya…dari awal dikasih hints-hints lebaynya sekalian gitu, jadi pas ada lebay yang gede, pembaca ngga kaget.

Soal alur cerita, lumayan bisa saya nikmati. 90% deh. 10%nya adalah plot hole yang sampai sekarang bingung gimana cara mengungkapkannya. Gaya berceritanya dinamis, adegan diamnya terasa, adegan fightingnya oke. Joke-joke selipannya saya suka. Nggak jelas tapi lucu :P. Dan hebatnya sih, si komikus ini bisa menciptakan sebuah slogan baru. (Slogan atau apa ya namanya? Semacam ‘istilah’ baru gitu deh).

“Merdeka” = berhasil sampai selesai

Bisa dibaca dari ungkapan-ungkapan : “Apapun yang terjadi, upacaranya harus MERDEKA” atau “Padahal aku sangat ingin upacara ini MERDEKA”.

Kalau anda adalah seorang pembuat produk atau iklan, selamat. Anda sudah membuat sebuah line yang bakal diingat oleh konsumen, saudara Matt0.

Nilai-nilai kepahlawanan dan lain-lain banyak dikupas di sini. Yah, khasnya komik cowo deh, mayoritas nilai perjuangan hidup yang diangkat. Ada nilai salah yang dipegang kuat oleh si tokoh utama hingga setengah buku di awal, tapi saya justru suka. Tidak semua tokoh utama sempurna. Ada kalanya mereka bisa salah jalan dan membutuhkan orang lain untuk ‘meluruskan’ mereka kembali. We’re not perfect. That’s why we need other people to help us. Buat saya pribadi, nilai dari buku ini yang paling kuat saya tangkap adalah…

“Ngga ada loe, ngga rame”

Wakakakakak…

Posted in Uncategorized | 3 Comments